Top Ad unit 728 × 90

Terbaru

recentposts

Bogeyman dan Kacaping dalam Kelas-Kelas Bahasa Indonesia

Andi Syurganda
(doc - pribadi)
PROFESI-UNM.COM - Geraldton adalah salah satu kota dalam kawasan Western Australia. Kota berjuluk The Greater City ini ditempuh dengan perjalanan 450 KM ke utara dari ibukota WA, Perth. Saya tengah dan akan berada di sana selama enam bulan sebelum pada akhirnya mengabdi di kota Perth dalam rentang waktu yang sama.

Di penghujung Februari lalu saya bersama tiga rekan dari provinsi lain di Indonesia bertolak ke Australia setelah Department of Education WA bekerjasama dengan Balai Bahasa Indonesia Perth, Westralian Language Teachers’ Association (WILTA) dan Konsulat Jenderal RI WA mengadakan seleksi asisten bahasa yang akan diutus untuk menjadi duta bahasa dan budaya Indonesia membantu guru-guru di sekolah-sekolah berbeda selama satu tahun di beberapa sekolah di Australia Barat melalui program Language Assistant Program 2014. Untuk semester pertama ini, saya ditempatkan di Mount Tarcoola Primary School, sebuah sekolah setingkat SD yang berlokasi di atas bukit di Geraldton. Meski bersuhu panas kering yang kadang menyentuh angka 46°C di musim panas ini, angin rajin berhembus siang malam.

Kerjasama empat komponen tersebut mengindikasikan bahwa Bahasa Indonesia adalah salah satu bahasa yang diperhitungkan dan boleh jadi bahasa asing paling penting di Australia. Program Language Assistant ini menjaring pemuda-pemudi dari beberapa negara di Eropa dan Asia untuk mengajarkan bahasa dan budaya mereka. Dari China dan Jepang dipilih masing-masing dua dan satu orang; dari Perancis dan Jerman dipilih masing-masing tiga dan satu orang. Dari kuota pemilihan asisten ini, pemuda dari Indonesia lah yang paling banyak. Ini indikasi bahwa bahasa Indonesia tetaplah penting diajarkan di Australia sekalipun dalam sejarah hubungan kedua negara ketegangan beberapa kali terjadi termasuk yang baru-baru ini akibat aksi penyadapan Australia terhadap petinggi-petinggi negeri. Program Language Assistant ini diadakan setiap tahun sejak 2008 dan telah menelurkan beberapa alumni dari berbagai daerah di Indonesia.
 
Bogeyman
Andi Syurganda saat mengajar di Australia.
(doc - pribadi)
Ini pekan keempat kami berempat menjalankan misi kebudayaan ini. Di kelas-kelas ketika mendampingi guru utama khususnya di empat pekan ini, saya menemukan salah satu sisi kehidupan para pelaut Bugis yang mungkin belum banyak kita ketahui bahwa dahulu sekitar abad ke-7 masehi ada hubungan yang erat antara para pelaut Bugis dengan orang-orang Aborigin. Sejarah mencatat pada awalnya pelaut dan pedagang dari Bugis dan Makassar berlayar mencari teripang.

Dalam perkembangan selanjutnya mereka menjalin hubungan yang akrab dengan warga pribumi dalam hal perdagangan dan kelautan bahkan mengajarkan mereka cara membuat perahu sederhana untuk menangkap ikan; dan ini terjadi jauh-jauh hari sebelum Willem Jansz, seorang pelaut Belanda mengklaim menemukan Australia pada abad 17 masehi tepatnya pada 1606. Salah satu bukti kuat yang bisa dilacak hari ini adalah kosakata-kosakata etnis Aborigin yang berasal dari bahasa Bugis Makassar, “Badik” misalnya. Bahkan dalam suatu studi bahasa, disebutkan ada sekitar 200 hingga 300 kosakata bahasa Makassar di dalam bahasa Yolngu, salah satu bahasa masyarakat Aborigin.

Di depan para siswa saya diberi kesempatan memperkenalkan diri lebih jauh. Lewat penuturan apa adanya dengan sedikit modal bahasa inggris, saya bercerita tentang kehidupan saya sebagai orang Bugis sambil sesekali menyanyi lagu bahasa Bugis dengan iringan Kacaping yang saya sengaja bawa dari Indonesia. Mereka menyimak bahasa dari suara saya yang fals, namun tepuk tangan riuh mereka untuk musik yang dihasilkan dawai Kacaping yang “miskin” jumlahnya itu.  

Orang-orang Aborigin yang dalam istilah setempat disebut indigenous people atau penduduk asli mengenal pelaut-pelaut Bugis dengan sosok yang kuat dan pemberani. Kisah-kisah tentang keberanian dan kuatnya orang Bugis kemudian difiksikan para orangtua setempat untuk menakut-nakuti anak-anaknya bahwa bilamana tidak segera kembali ke rumah saat petang datang maka Bogeyman, julukan yang merujuk kepada orang Bugis, akan menangkap dan membawa mereka pergi. Namun entah darimana muasalnya, Bogeyman kemudian digambarkan sebagai sosok berkulit hitam dan menyeramkan. Dalam perkembangan selanjutnya, cerita ini lalu mengakar juga di keluarga para pendatang dari benua Eropa yang kini menjadi mayoritas penduduk Australia.

Maka ketika para siswa –yang kebetulan beberapa di antara mereka dari setiap kelas adalah keturunan Aborigin— mendengar saya berasal dari Bugis, mereka tercengang lalu menarik posisi duduknya ke belakang khawatir akan diterkam seorang Bogeyman yang duduk sambil memegang Kacaping di depan mereka. Sambil saya mengajak mereka membetulkan posisi duduk, guru bahasa Indonesia yang saya dampingi itu menjelaskan bahwa saya bukanlah sosok yang gemar menangkap anak-anak lalu menggigitnya seperti yang ada di benak mereka. Saya tentu tak semenyeramkan itu.(*)



*Penulis: Andi Syurganda Alumni Jurusan Sastra Inggris Universitas Negeri Makassar 2008, Guru Bahasa Indonesia di Geraldton, Australia Barat



Kirim Tulisan, Berita, Opini, Foto atau Karya Sastra Anda ke email redaksi@profesi-unm.com atau profesi_unm@yahoo.com untuk diterbitkan di rubrik Citizen Journalism Profesi Online. Sertakan juga foto, nama lengkap, jurusan/prodi atau jabatan Anda.

Bogeyman dan Kacaping dalam Kelas-Kelas Bahasa Indonesia Reviewed by Thinkpedia Indonesia on 09.09 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.