Ada Maba, Saatnya Tawuran?
Fakultas Tenteram adalah “tetangga” Udi, yang sepajang sejarah, tak pernah mau akur dengan Fakultas Bahagia dan Sentosa. Udi, yang baru mengenyam bangku kuliah selama 3 semester, kini mengenal kultur kampus, melalui ritual antar-mahasiswa ini (tawuran, red).
Di kamar kosnya, berukuran 4x3 meter, Santi bersedia mendengar celotehan Udi. Siang tadi, tawuran antar-mahasiswa baru saja dihelat. Entah, untuk keberapa kalinya, Udi menonton bentrok secara “live”. Santi yang merupakan mahasiswa baru, begitu kaget. Udi, sepupu Santi mencoba menenangkan.
Santi tak habis pikir, kampus yang dalam pikirannya - kala SMA dulu - merupakan laboratorium kaum intelektual, berperilaku seperti orang yang tanpa beban moral. “Biasanya itu ada yang desain suatu kondisi, sehingga muncul konflik,” Udi mencoba merasionalkan kejadian ini, sekaligus pembelaan bahwa mahasiswa bukanlah pelaku utama, melainkan korban.
Memang, sejak jaman “batu” dulu, setiap tawuran selalu mencoba mengkambing-hitamkan birokrat. Kalangan mahasiswa selalu menuding, mereka adalah korban dari konflik kepentingan yang diciptakan oleh birokrat. “Tapi, kalau mereka paham sedang dipermainkan, kenapa justru mereka tak mau akur? Bukankah kejadian ini bukan yang pertama kalinya? Atau mahasiswa yang menjadi dalang atas kepentingan ini?,” Santi menyela protes penjelasan Udi.
Udi menghela nafas sejenak sembari berpikir. Dalam hatinya, ia tak menyangka Santi se-kritis itu. Akan tetapi, tak ingin tampak bodoh di hadapan maba, Udi membela, “Memang di antara mereka paham kondisi itu. Hanya saja, birokrat lah yang mencoba memperkeruh suasana. Mahasiswa tak diberi ruang berkreasi, hingga intimidasi-intimidasi di ruang kelas.”Santi terdiam, keningnya berkerut. Ia begitu ragu atas segala opini yang dilontarkan Udi. Sementara Udi, mengambil sebatang rokok dari saku bajunya. Wajah Udi sedikit basah. Tangannya menjulur tergetar, mencari sebuah korek dalam saku tas mungilnya. “Apa benar seperti itu?”. Santi sekali lagi ingin diyakinkan.
Udi tak spontan menatap mata Santi, setelah mendengar pertanyaan itu. Udi memilih membakar rokok sebatang-wayangnya. “Iya benar. Coba cari tahu sendiri kalau tidak percaya. Selama ini, menurut penjelasan senior-senior saya, mahasiswa yang bertengkar hanya selalu menjadi korban. Lalu, birokrat mendapatkan dana kucuran milyaran rupiah, sebagai anggaran perbaikan,” jawab Udi meninggikan nada suaranya.
“Namun ganjilnya, tak ada sedikitpun,” Udi berhenti sejenak menghisap sebatang rokoknya yang sedikit lagi raib dibakar api, “Perbaikan yang dilakukan. Malahan, kami merasa tambah sengsara. Dulunya kami menggunakan AC, sekarang tidak. Kursi-kursi yang ada di dalam kelas, hampir seumuran dengan pejuang-pejuang kemerdekaan kita. Apalagi, fasilitas di luar kelas, itu yang lebih parah. Mana mungkin, 2-5 toilet, cukup meladeni mahasiswa yang jumlahnya ribuan. Kasihan kelamin kita,” tegas Udi seolah menyampaikan protes kepada Santi.
Lagi, Santi semakin tak berterima. Bukannya ciut, Santi makin menjadi-jadi. Perdebatan pun tak terhindarkan. Santi yang baru beberapa bulan mengenyam bangku kuliah, berani beradu argumentasi dengan Udi. Udi pun kewalahan atas beberapa bantahan Santi. “Kalau betul desain birokrat, memangnya senior kamu pernah buktikan?,” ujar Santi menyangsikan Udi.
Wajah Udi semakin memerah. Suaranya bergetar. Lirikannya menajam, seakan mengintai. Sementara Santi, menantang tatapan Udi. “Ayo jawab bang,” Santi menggerutu. Kamar Santi tiba-tiba hening setelah terjadi pertengkaran mulut. Udi, tak berkutik apa-apa. Sejurus dengan itu, Santi, masih menanti apa yang akan diucapkan Udi.
Selang beberapa detik, Udi tanpa aba-aba berdiri, lalu berkata, “Satu hal yang mesti kau pahami. Mahasiswa tak pernah berniat ingin tawuran. Upaya konsolidasi terus dilakukan. Hanya memang, kami selalu di provokasi oleh “mereka” yang punya kepentingan besar. Dan yang terpenting, penerimaan mahasiswa baru adalah momentum bagi orang-orang itu untuk beraksi untuk menjadi “pahlawan”! Setelah itu, ia meninggalkan kamar Santi tanpa pamit.
Santi heran, tak mampu berkata apa-apa. Ia menyadari telah membuat Udi naik pitam. Dirinya memberontak dalam benak, sebab tak terpuaskan oleh jawaban Udi dari tadi. Justru, muncul pertanyaan baru yang semakin membuat runyam pemikirannya sebagai mahasiswa. “Kepentingan? Mereka? Ritual tahunan? Pahlawan? Provokasi?. . . . ahhh. . . . semoga itu hanya hoax,” Santi geram memberontak di kamar.
Telepon genggam diraihnya. Beberapa nomor ditekan. “Halo? Ibu, besok saya pulang kampong yah. Saya sudah tidak mau kuliah lagi,” Santi mengutarakan kemauannya lalu mematikan telepon. Panggilan balasan dari ibunya tak dihiraukan. Dirinya hanya sibuk mengemas pakainnya untuk dibawa pulang, besok. (*)
*Penulis: Sutrisno Zulkifli, Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Angkatan 2009, Pemimpin Umum LPPM Profesi UNM Periode 2013-2014.
Kirim Tulisan, Berita, Opini, Foto atau Karya Sastra Anda ke email redaksi@profesi-unm.com atau profesi_unm@yahoo.com untuk diterbitkan di rubrik Citizen Journalism Profesi Online. Sertakan juga foto, nama lengkap, jurusan/prodi atau jabatan Anda.
Ada Maba, Saatnya Tawuran?
Reviewed by Thinkpedia Indonesia
on
05.06
Rating:
Tidak ada komentar: