Politik Pendidikan
Muhammad Saiful Islam (doc pribadi) |
Jika demikian halnya, maka kekuasan dalam artian kata politik untuk mengurus kepentingan rakyat harus membuat sistem pendidikan yang membebaskan. Kenapa pendidikan karena untuk kemajuan sosial dan reformasi pendidikan lah yang menjadi fundamental. (John Dewey). Membebaskan karena Pendidikan adalah proses untuk memanusiakan manusia. (Ki Hajar Dewantoro). Dengan demikian segala bentuk pendidikan yang berdasarkan pada penjajahan harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan pri kemanusiaan dan pri keadilan. (UUD 1945).
Tahu kah anda bahwa pendidikan kita di Indonesia masih dehumanistik (Tidak membebaskan) karena manajemen pendidikan nasional dalam pusaran kekuasaan.(H.A.R. Tilaar). Nah. Yang menguasai adalah Imperialisme (Harry Kusuma). Kebebasan dalam bernalar dihapuskan yang ada hanya penghafalan materi yang sangat teoritis, sehingga kita tak mampu membayangkan bagaimana wujud nyatanya ilmu itu. Mungkin hanya dengan lewat mimpi saja kita bisa bertemu dengannya.
Pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang menghargai proses dalam mengembangkan potensi yang ada pada peserta didik (Baca: Finlandia). Bahwa segala bentuk pemaksaan dan hukuman pasti akan berakhir dengan kegagalan (Evaluasi dan Remedial). Kegagalan pada peserta didik akan berdampak pada terciptanya manusia yang mudah stress, frustasi, dan penghayal. Bahayanya keadaan demikian akan memicu kerusakan moral, tindakan yang buruk, dan pengangguran.
Menurut Paulo Freire, penindasan, apapun nama dan alasannya, adalah tidak manusiawi, sesuatu yang menafikkan harkat kemanusiaan (dehumanisasi). Siapa yang di untungkan dalam kondisi politik pendidikan dehumanisasi? Filsafat Freire mengambil dari kehidupan nyata, bahwa di dunia ini sebagian besar manusia menderita sedemikian rupa, sementara sebagian lainnya menikmati jerih payah orang lain dengan cara-cara yang tidak adil, dan kelompok yang menikmati ini justru bagian minoritas umat manusia yang banyak uang dan tinggi strata sosialnya. Dilihat dari segi jumlah saja menunjukkan bahwa keadaan tersebut memperlihatkan kondisi yang tidak berimbang, tidak adil. Persoalan itu yang disebut Freire sebagai “situasi penindasan”.
Dehumanisasi, yang menandai bukan saja mereka yang telah dirampas kemanusiaannya, tetapi juga (biarpun dalam cara yang berbeda) mereka yang telah merampasnya, adalah sebuah penyimpangan fitrah untuk menjadi manusia sejati. Penyimpangan ini terjadi sepanjang sejarah, namun bukan suatu fitrah sejarah. Mayoritas kaum tertindas menjadi tidak manusiawi karena hak-hak asasi mereka dinistakan, karena mereka dibuat tidak berdaya dan dibenamkan dalam “kebudayaan bisu” (submerged in the culture of silence). Adapun minoritas kaum penindas menjadi tidak manusiawi karena telah mendustai hakekat keberadaan dan hati nurani sendiri dengan memaksakan penindasan bagi sesamanya.
Manusia yang tidak manusiawi tak ubahnya seperti mesin dan menciptakan mesin berikutnya. Tetapi sampai kapan mesin itu akan bertahan? Sampai nanti, sampai mati atau rusak (Letto). Inilah yang perlu kita renungkan, kemudian kita jauhi untuk menjadi mesin. Karena sampai kapan pun hakikat manusia tetap lah manusia bukan mesin apalagi produk dari mesin.
Disinilah kita harus kembali pada arti pendidikan yang sebenarnya yaitu proses memanusiakan manusia untuk bisa menjadi manusia yang bisa menyelesaikan permasalahan hidupnya dengan cara yang baik sesuai dengan hati nurani (kata hati yang terdalam). Dengan ungkapan lain, salah satu agenda penting pendidikan dimasa depan adalah bagaimana mengatasi krisis kemanusiaan, termasuk persoalan krisis makna hidup. (Wiji Winardi).
Maka dari itu, ikhtiar memanusiakan kembali manusia (humanisasi) merupakan pilihan mutlak. Humanisasi satu-satunya pilihan bagi kemanusiaan, karena walaupun dehumanisasi adalah kenyataan yang terjadi sepanjang sejarah peradaban manusia dan tetap merupakan suatu kemungkinan ontologis dimasa mendatang, ia bukanlah suatu keharusan sejarah. Secara dialektis, suatu kenyataan tidak mesti menjadi suatu keharusan. Jika kenyataan menyimpang dari keharusan, maka menjadi tugas manusia untuk merubahnya agar sesuai dengan apa yang seharusnya (the man’s ontological vocation).
Bagi Freire, kodrat manusia adalah menjadi pelaku atau subyek, bukan penderita atau obyek. Panggilan manusia sejati adalah menjadi pelaku yang sadar, yang bertindak mengatasi dunia serta realitas yang menindas atau mungkin menindasnya. Dunia dan realitas atau realitas dan dunia. Mau pilih mana? Hidup Di Dunia atau Hidup Dengan Dunia. Sama saja dengan Hidup di Realitas atau hidup dengan realitas. Dua kata ini akan bisa menganalisis apakah kita sebagai subyek yang sadar (Manusiawi) atau objek yang menderita (Mesin).
KESIMPULAN
1. Politik untuk mengurus rakyat menyangkut pendidikan yang membebaskan.
2. Pendidikan di Indonesia masih dehumanistik.
3. Ikhtiar memanusiakan kembali manusia (humanisasi) merupakan pilihan mutlak.
4. Pilihan kita hanya dua yaitu Menjadi Manusiawi atau menjadi mesin pencetak mesin.
Daftar Rujukan
Buku :
1. Paulo Freire, Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, Pustaka Pelajar bekerja sama dengan REaD (Research, Education and Dialogue), Yogyakarta, September 1999.
2. Tilaar, H.A.R. 2009. Kekuasaan dan Pendidikan. Manajemen Pendidikan Nasional Dalam Pusaran Kekuasaan. Jakarta. Rineka Cipta.
3. Tilaar, H.A.R. 2004. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta. Rineka Cipta.
Karya Tulis :
1. Kahar Muamalsyah. Paulo Freire Pendidikan Untuk Pembebasan.
2. Harry Kusuma. Higher Education and World ‘Trash’ Organization.
3. Wiji Winardi. Urgensi Penerapan Belajaran Aktif di Perguruan Tinggi.
4. Biografi Singkat Ki Hajar Dewantoro.
5. Status n Postingan MSI Production.
Penulis: Muhammad Saiful Islam, Mahasiswa Fakultas Ekonomi (FE) UNM dan Pemimpin Umum MPPI (Mahasiswa Peduli Pendidikan Indonesia)
Kirim Tulisan, Berita, Opini, Foto atau Karya Sastra Anda ke email redaksi@profesi-unm.com atau profesi_unm@yahoo.com untuk diterbitkan di rubrik Citizen Journalism Profesi Online. Sertakan juga foto, nama lengkap, jurusan/prodi atau jabatan Anda.
Politik Pendidikan
Reviewed by Thinkpedia Indonesia
on
12.47
Rating:
Tidak ada komentar: